Budaya

Menyusuri Jejak Peninggalan Agama Hindu dari India di Tanah Karo

4

Arca Peninggalan Agama Hindu di Desa Bintang Meriah (Dokumentasi Pribadi)

Arca Peninggalan Agama Hindu di Desa Bintang Meriah (Dokumentasi Pribadi)

Saat kunjungan ke museum Pusaka Karo, Berastagi, pada Minggu (3/4/2022) yang lalu, penulis menemukan artefak dan catatan tentang bukti -bukti pengaruh agama Hindu dari India yang pernah ada atau bahkan mungkin masih hidup di Tanah Karo. Salah satu bukti peninggalan pengaruh Hindu dari India itu adalah keberadaan artefak terkait dengan tradisi Pekualuh Seberaya.

Pekualuh artinya setiap “waluh” (delapan dalam bahasa Karo) tahun sekali acara tersebut dilaksanakan di desa Seberaya. Acara ini dilaksanakan dengan maksud sebagai penghormatan bagi leluhur, keluarga, dan orangtua yang sudah meninggal.

Pekualuh Seberaya merupakan suatu peristiwa sejarah dan kebudayaan yang besar di Tanah Karo karena sangat jarang dilakukan sejak zaman dahulu. Dari catatan yang ada, acara ini pernah dilakukan dua kali di desa Seberaya, yakni pada sekitar rentang tahun 1850 hingga 1880.

Artefak Berupa Patung Kematian dalam Tradisi Pekualuh Seberaya

Pelaksana acara Pekualuh Seberaya ini adalah cabang marga Sembiring singombak seperti Sembiring Meliala, Sembiring Brahmana, Sembiring Depari, Sembiring Colia, Sembiring Pandia, Sembiring Pelawi, Sembiring Muham, Sembiring Tekang, dan Sembiring Maha. Marga-marga Sembiring ini juga disebut sebagai Sembiring simantangken biang (klan marga yang tidak memakan daging anjing).

Menurut sejarahnya, marga Sembiring tersebut berasal dari India yang kemudian berasimilasi dengan suku Karo. Acara seperti Pekualuh Seberaya yang dilakukan oleh mereka ini juga merupakan salah satu tradisi dengan nama lain yang dilakukan di India.

Setiap delapan tahun sekali keluarga Sembiring singombak tersebut melaksanakan pesta adat kematian dengan menghanyutkan abu atau tulang-tulang dari keluarga atau leluhur mereka. Jenazah atau tulang-tulang itu digali kemudian dibakar terlebih dahulu dan dimasukkan ke sebuah kotak atau pot dan diletakkan (ada juga yang ditaburkan) di dalam kapal yang disebut pelangkah.

Miniatur pelangkah dalam tradisi Pekualuh Seberaya, koleksi Museum Pusaka Karo (Dokumentasi Pribadi)Miniatur pelangkah dalam tradisi Pekualuh Seberaya, koleksi Museum Pusaka Karo (Dokumentasi Pribadi)

Kemudian pelangkah dihanyutkan ke sungai Lau Biang atau Lau Beringin, lalu dilempari dengan batu agar lebih mudah hanyut. Tradisi yang dilakukan di sungai ini merupakan pengganti dari simbol kesatuan kultural dan spiritual yang terpaut dengan sungai Gangga di India.

Peti kayu yang berbentuk perahu dengan bagian kepalanya yang berbentuk seekor burung rangkong. Perahu itulah yang disebut pelangkah.

Pelangkah terletak di sisi samping rumah adat Karo. Pada sisi atas peti terdapat seorang laki-laki pada bagian depan yang biasanya menyandang sebuah senjata dan wanita diletakkan pada sisi bagian belakang.

Miniatur gana-gana dalam sosok laki-laki yang menyandang sebuah senjata di bagian depan perahu dalam tradisi Pekualuh Seberaya (Dokumentasi Pribadi)Miniatur gana-gana dalam sosok laki-laki yang menyandang sebuah senjata di bagian depan perahu dalam tradisi Pekualuh Seberaya (Dokumentasi Pribadi)

Figur wanita adalah sosok seorang dukun atau guru sibaso. Patung-patung seperti ini terdapat pada perahu keluarga Sembiring. Namun, ada juga dari marga Sembiring melaksanakan pembakaran mayat dan meletakkan abunya di dalam sebuah pot.

Miniatur gana-gana dalam sosok wanita di atas perahu Pekualuh Seberaya adalah sosok seorang dukun atau guru sibaso (Dokumentasi Pribadi)Miniatur gana-gana dalam sosok wanita di atas perahu Pekualuh Seberaya adalah sosok seorang dukun atau guru sibaso (Dokumentasi Pribadi)

Setelah Belanda menguasai dan menduduki wilayah Tanah Karo hal seperti ini tidak pernah lagi dilaksanakan, terutama karena datangnya misionaris yang membawa agama Kristen masuk ke Tanah Karo.

Arca Peninggalan Agama Hindu di Desa Bintang Meriah

Selain tradisi Pekualuh Seberaya, ada juga bangunan yang menunjukkan ciri jejak warisan agama Hindu di desa Bintang Meriah Kecamatan Kutabuluh Kabupaten Karo. Bangunan itu berupa sebuah arca dengan gambaran wujud Dewa Wisnu.

Ini menegaskan adanya pengaruh agama Hindu di Tanah Karo yang datang dari India pada masa dahulu kala. Pengaruh agama Hindu dari India ini melahirkan kepercayaan atau agama awal suku Karo, yang disebut agama pemena.

Arca Peninggalan Agama Hindu di Desa Bintang Meriah (Dokumentasi Pribadi)Arca Peninggalan Agama Hindu di Desa Bintang Meriah (Dokumentasi Pribadi)

Arca Peninggalan Agama Hindu di Desa Bintang Meriah (Dokumentasi Pribadi)Arca Peninggalan Agama Hindu di Desa Bintang Meriah (Dokumentasi Pribadi)

Agama pemena ini mengenal adanya dibata datas atau Guru Batara, yang memiliki kekuasaan atas dunia atas atau angkasa, lalu ada dibata tengah atau Tuhan Padukah ni Aji, yang menguasai dan memerintah di bagian dunia yang kita huni ini, dan dibata teruh atau Tuhan Banua Koling, yang memerintah di bagian bawah bumi. Ini mirip dengan konsep Tri Murti pada agama Hindu dengan Dewa Brahma, Wisnu dan Shiwa.

Sekilas tentang Hubungan Hindu dan India dengan Tanah Karo

Pada abad pertama setelah Masehi, terjadi migrasi orang India Selatan yang beragama Hindu ke Indonesia termasuk ke Sumatera. Mereka memperkenalkan aksara Sansekerta, Pallawa, dan ajaran dalam agama Hindu.

Pada abad kelima, terjadi pula gelombang migrasi India yang memperkenalkan agama Buddha dan tulisan Nagari. Tulisan Nagari inilah yang kemudian menjadi cikal bakal aksara Batak.

Dikutip dari laman kebudayaan.kemdikbud.go.id dijelaskan bahwa menilik dari asal kata marga Sinulingga, salah satu sub marga dari marga Karo, kemungkinan asalnya adalah dari kerajaan Kalingga di India.

Sebagaimana dijelaskan dalam buku Sejarah Karo dari Zaman ke Zaman (1995) tulisan Kongsi Sembiring Brahmana (Brahma Putro), bahwa banyaknya nama Lingga di Karo, Pakpak Bharat, dan Simalungun sebagai nama marga dan nama kampung menunjukkan bahwa pengaruh agama Hindu sekte Ciwa berkembang dan kuat pengaruhnya.

Dalam buku itu juga dijelaskan bahwa pada abad ke-16 seorang resi bernama Megit dari kaum Brahmana datang dari India dengan mengarungi lautan di atas perahu layar. Ia mendarat di pantai Sumatera Timur, lalu masuk ke pedalaman Talun Kaban (sekarang Kabanjahe). Resi Megit Brahmana ini mengembangkan agama Hindu ajaran Maharesi Brgu Sekte Ciwa.

Ia berasimilasi dengan menikahi seorang gadis Karo beru Purba. Dari pernikahannya lahir 3 orang putra, yakni Si Mecu, Si Mbaru, dan Si Mbulan. Ketiga putra Resi Brahmana inilah leluhur dari merga Sembiring Brahmana di seluruh daerah Karo, meliputi Kabanjahe, Perbesi, Limang, Bulanjahe, Delitua, Ujung Labuhen, Namo Cekala, Bekawar, Namo Rubei, Aji Baho, Timbang Lawan, dan lain-lain.

4

Postingan Terkait / Lainnya

Budaya
Budaya
Budaya
Respon (Komentar)