Umum

Menyusuri Jejak Peninggalan Sejarah di Permukiman Kusta Lau Simomo Tanah Karo

2
1

Dua rumah pasien pengidap kusta berbentuk rumah adat Karo yang kini tersisa di Lau Simomo (Dokumentasi Pribadi)


Artikel ini ditulis setelah kunjungan pada suatu pagi yang cerah ke desa Lau Simomo Kecamatan Kabanjahe, Kabupaten Karo, pada Jumat, 14 April 2023. Jarak desa ini sekitar 10 km dari Kabanjahe, ibu kota Kabupaten Karo.

Pada masa-masa awal pelayanan kekristenan di dataran tinggi Karo, di desa Lau Simomo ini berdiri sebuah rumah sakit khusus dan permukiman bagi para penderita kusta. Pemrakarsa pendirian rumah sakit dan permukiman pengidap penyakit kusta ini adalah Pdt. E. J. Van den Berg, seorang misionaris Belanda dari Nederlands Zendeling Genootschap (NZG).

Pdt. Van den Berg tiba di Buluh Awar, Sibolangit, bersama istrinya pada bulan April 1903. Di Buluh Awar, pendeta ini mempersiapkan diri dengan mempelajari bahasa dan budaya Karo untuk meneruskan pelayanan misionaris Kristen pendahulunya yang bernama Pdt. H. C. Guillaume. Pada 10 April 1905, pendeta Van den Berg dan istrinya memulai misi pelayanan di dataran tinggi Karo dan menetap di Kabanjahe.

Pada masa itu, persentase penderita kusta di Tanah Karo sangat tinggi, di mana dua orang dari setiap seribu orang Karo mengidap penyakit kusta. Kenyataan itu juga berarti dua permil dari masyarakat Karo pada masa itu hidup dikucilkan dari keluarga dan masyarakat. Hal itu disebabkan oleh karena rendahnya tingkat pendidikan, sehingga masyarakat Karo pada masa itu hidup dalam suasana leprophobia.

Leprophobia adalah perasaan takut terhadap para pengidap lepra (kusta) yang dikaitkan dengan hal-hal yang tidak rasional, supranatural, kutuk, tulah, dan sebagainya. Akibatnya, para pengidap kusta tidak saja mengalami sakit secara fisik, tapi juga mengalami penderitaan terkait masalah sosial, psikologis, dan ekonomi.

Atas dasar itu, pendeta Van den Berg memulai pelayanannya dengan memfungsikan rumah tempat tinggalnya di Kabanjahe menjadi poliklinik dan depot obat. Pasien mulai banyak berdatangan, dua kamar di rumahnya difungsikan sebagai tempat pemondokan bagi para pengidap kusta.

Dengan semakin banyaknya pengidap kusta datang ke Kabanjahe untuk berobat, sementara di sisi lain masyarakat merasa ngeri berdekatan dengan mereka, maka lambat laun hal ini menjadi masalah di kalangan masyarakat Kabanjahe. Masyarakat mengajukan keberatan kepada pemerintah melalui asisten residen Western Berg yang berkedudukan di Seribudolok.

Atas dasar itulah asisten residen mengusulkan agar semua penderita kusta di Tanah Karo diasingkan ke Huta Salem di Laguboti, Tapanuli. Itu adalah permukiman kusta yang telah dibangun oleh Rheinsche Zending, sebuah badan misi penginjilan yang berasal dari Jerman, pada 5 September 1900.

Namun, pendeta Van den Berg tidak setuju dengan usulan itu karena menurutnya hanya akan menambah penderitaan penderita kusta. Konsep penanganan pengidap kusta menurutnya haruslah memanusiakan manusia.

Permukiman itu harus ditata bernuansa permukiman masyarakat Karo sendiri, hidup dalam struktur dan sistem sosial masyarakat Karo, diberikan kebebasan kawin mawin di antara sesama penderita, diberikan kebebasan mengembangkan budaya dan ekonominya, serta harus mampu membuat mereka merasakan kasih Allah di permukiman itu agar para penderita merasa tetap berada dalam lingkungannya sendiri.

Konsep yang dia sampaikan dengan landasan kasih Allah dan penuh kelemahlembutan itu mampu meluluhkan hati asisten residen dan Sidang Kerapatan Balai Raja Berempat. Itu adalah sebuah sidang tertinggi dalam sistem pemerintahan masyarakat Karo pada masa itu.

Adalah sibayak Pa Pelita, sibayak (penguasa) Kabanjahe yang merupakan salah satu peserta sidang pada waktu itu. Ia terkesan dengan usulan pendeta Van den Berg karena salah satu anggota keluarganya bernama Marih Purba juga mengidap kusta.

Ia mengusulkan agar lokasi permukiman tersebut ditetapkan di Lau Simomo. Beberapa hal yang menjadi pertimbangan memilih lokasi di Lau Simomo adalah karena:

1. Lokasi itu jauh dari perkampungan penduduk, sehingga tidak akan mengganggu masyarakat sekitarnya;

2. Pada lokasi itu ada sebuah mata air yang mengalir sejauh 1 km dan akhirnya menghilang (terserap) ke dalam tanah, sehingga penduduk sekitar tidak akan takut ketularan kuman-kuman penyakit yang hanyut ke hilir karena airnya terserap ke dalam tanah;

3. Lokasi itu sangat sejuk udaranya dan indah pemandangannya, juga subur sehingga cocok untuk pertanian.

Suasana asri jalan masuk desa Lau Simomo (Dokumentasi Pribadi)

Usulan ini mendapat dukungan dari seluruh peserta sidang. Disepakati agar pemerintah daerah, yakni para sibayak, raja urung, dan pengulu di seluruh Tanah Karo agar mengumumkan (ngemomoken, bhs. Karo) keputusan itu kepada warganya yang mengidap penyakit kusta agar pindah ke permukiman tersebut mulai tanggal 25 Agustus 1906.

Itulah asal mula nama "Lau Simomo". Tanggal tersebut tercatat menjadi tanggal berdirinya permukiman pengidap kusta Lau Simomo. "Lau" berarti air atau sungai, "momo" berarti pengumuman.

Jumlah penderita kusta yang datang pada hari pertama permukiman itu dibuka ada 25 orang. Hingga bulan Februari 1907 jumlah penghuni permukiman itu menjadi 72 orang, dan pada tahun 1924 penghuninya sudah ada 400 orang.

Pada saat kunjungan ke desa Lau Simomo (Jumat, 14/04/2023), penulis mewawancarai seorang ibu yang bernama nande Indra. Ia adalah pasien pengidap kusta yang sudah sembuh. Nande Indra memberikan keterangan bahwa saat ini pasien pengidap kusta yang tinggal menetap di Lau Simomo ada sebanyak 300 jiwa.

Nande Indra berasal dari Aceh, seorang etnis Gayo. Ia dan keluarganya pindah dari Huta Salem, Lagu Boti ke Lau Simomo.

Hubungan yang saling mengasihi dan penuh toleransi di antara sesama pengidap kusta di kampung ini membuat mereka dapat merasakan sukacita dan bahagia. Sejak awal, prinsip pelayanan di permukiman Lau Simomo adalah "Dilayani agar mampu melayani diri sendiri dan orang lain."

Rasa senasib sepenanggungan mempererat hubungan kekerabatan mereka. Desa Lau Simomo mereka sebut sebagai "Kuta Keriahen", dalam Bahasa Indonesia berarti desa sukacita.

Beberapa peninggalan menarik dan bersejarah yang masih bisa dijumpai di desa Lau Simomo ini di antaranya:

1. Bangunan Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) Lau Simomo

Gereja Lau Simomo dibangun dengan dukungan seluruh warga jemaat yang umumnya adalah pasien pengidap kusta dan para pegawai rumah sakit. Pembangunan gereja Lau Simomo dilakukan di bawah pimpinan H. G. Van Eelen.

Dindingnya terbuat dari papan pilihan, atapnya pada awalnya terbuat dari kayu sirip yang didatangkan secara khusus ke Lau Simomo, jendelanya dari kaca berwarna-warni, dan dilengkapi dengan organ pipa (pipe organ) yang dioperasikan dengan cara diengkol.

Gereja Lau Simomo diresmikan pada 9 Desember 1923. Sampai  dengan saat ini, di usianya yang sudah lebih 100 tahun, bangunan GBKP Lau Simomo adalah salah satu bangunan gereja terindah di GBKP.

Bangunan Gereja Batak Karo Protestan yang ikonik di Desa Lau Simomo (Dokumentasi Pribadi)

2. Lapangan Sepak Bola Lau Simomo

Pada masa pelayanan Pdt. L. Jansen Schoon Hoven di Lau Simomo (1934-1943), ia mendirikan kesebelasan sepak bola bernama Club Madjoe yang terdiri dari pegawai dan staf rumah sakit kusta Lau Simomo. Ia juga mendirikan grup orkestra musik biola Lau Simomo yang sering ikut menemani kesebelasan Club Madjoe setiap kali mengikuti pertandingan.

Kesebelasan Club Madjoe ini melanglang buana bertanding melawan kesebelasan lain di daerah Sumatera Timur. Nama Club Madjoe pada masa itu terkenal di seluruh daerah Sumatera Timur.

Pada masa itu di Lau Simomo dibangun juga lapangan sepak bola yang dilengkapi dengan lampu-lampu sehingga bisa menggelar latihan dan pertandingan pada malam hari. Lapangan sepak bola ini menjadi satu-satunya lapangan sepak bola dengan kualitas yang sangat baik di Tanah Karo pada masa itu.

Lapangan sepak bola ini masih bisa kita jumpai hingga saat ini, walaupun tentu saja kini tidak ada lagi lampu-lampunya.

Lapangan sepak bola desa Lau Simomo kini (Dokumentasi Pribadi)

3. Rumah Pasien Pengidap Kusta Berbentuk Rumah Adat Karo

Membangun rumah adat Karo dalam versi kecil untuk hunian pasien pengidap kusta ini adalah karya dari Hengky Neumann. Ia adalah putra dari Pdt. J. H. Neumann yang turut ditawan oleh tentara Jepang bersama kedua orang tuanya.

Setelah kekalahan Jepang, ia dibebaskan dan kembali ke Tanah Karo. Ia bekerja keras mengembalikan citra rumah sakit kusta Lau Simomo yang pernah terkenal.

Kini hanya tersisa dua bangunan dengan ciri khas rumah adat Karo itu. Rumah-rumah penduduk Lau Simomo kini sudah menyesuaikan ke bentuk bangunan masa kini meskipun sederhana.

Pagi itu aku bertemu dengan seorang ibu yang juga adalah pasien pengidap kusta yang sudah sembuh, nenek Ngaji nama panggilannya. Ia berasal dari Aceh, seorang etnis Alas.

Dia tinggal sendiri di rumahnya. Begitu juga halnya dengan iting Juhar. Anak-anak mereka dan kerabat keluarga yang lain sesekali datang mengunjungi mereka ke Lau Simomo.

Rumah mereka yang berada di areal kesain mbelang (pelataran luas, bhs. Indonesia) dulunya juga berupa rumah adat Karo dengan ukuran kecil. Namun, karena sudah termakan usia, maka mereka dengan biaya sendiri merenovasi dan mengubah bentuknya ke model rumah sederhana sebagaimana umumnya kini, yakni berlantai semen, dengan dinding papan, dan atap seng.

"Beberapa waktu lalu baru runtuh satu rumah lagi (yang berbentuk rumah adat Karo). Jadi sekarang tinggal dua itulah," kata iting Juhar.

Dua rumah pasien pengidap kusta berbentuk rumah adat Karo yang kini tersisa di Lau Simomo (Dokumentasi Pribadi)

4. Pancuran Lau Tak Tuk

Kamar mandi umum atau pancuran warga desa yang dulu dibangun oleh Belanda masih ada hingga hari ini. Kata nande Indra, warga Lau Simomo menamakan pancuran itu "Lau Tak Tuk."

Katanya karena besarnya sumber mata airnya sehingga menghasilkan bunyi "tak ... tuk ..., tak ... tuk ...." Sumber mata air ini masih digunakan oleh warga desa untuk kebutuhan sehari-hari, meskipun sekarang sudah ada juga sumur bor yang dibangun oleh pemerintah desa.

Pancuran Lau Tak Tuk di Lau Simomo (Dok. Pribadi)

Iting Juhar atau yang bernama lengkap Nurlia Br Ginting ini sedang menganyam tikar di depan pintu rumahnya. Dengan raut wajah berseri, ia menceritakan kenangan dari sekitar 5 tahun yang lalu. Katanya, Paul, seorang cucu dari mendiang Pdt. J. H. Neumann, membeli 3 helai tikar bengkuang hasil anyamannya ketika ia datang berkunjung ke Lau Simomo, dan membawanya ke Belanda.

Obrolan hangat itu pun kami sudahi menjelang tengah hari. Aku berpamitan, kujabat erat tangannya, kulihat ada binar sukacita di bola matanya.

Aku pun pergi meninggalkannya melanjutkan anyamannya. Di kesain mbelang, Lau Simomo.

Rumah permukiman pasien kusta yang sudah sembuh di areal kesain mbelang Desa Lau Simomo (Dokumentasi Pribadi)

Referensi:

Diaken Emeritus P. Sinuraya, "Sejarah Permukiman dan Rumah Sakit Kusta Lau Simomo." Ditulis dan diterbitkan untuk kalangan sendiri oleh Biro Partisipasi Pembangunan Moderamen GBKP (2000).

2
1

Postingan Terkait / Lainnya

Data Post Belum Tersedia

Maaf!!! Saat ini belum ada data post terkait yang bisa ditampilkan

Respon (Komentar)